Rabu, 20 April 2011

desdouanes♥blogspot.com: Paper Toys

desdouanes♥blogspot.com: Paper Toys: "Have you ever think that you can make a cute stuffs from used papers? Paper toy is one of those cute stuffs made from papers. Just fold, fol..."

Kamis, 14 April 2011




(¬_¬)--o(✗_✗)
kumpulan foto orang koplak ( ⌣ ́_ ⌣ ̀)┌П┐(►˛◄)┌П┐(>ˆ▽ˆ)> ωªªκªªκªª <(ˆ▽ˆ<)

15-04-2011


KUmulai membuka fbku lagiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
benar kata degyoong selama aku berusaha melupakannya semakin sulit untuk bisa menjauhinyaaa.........
Mungkin ini hnaya egoooo ku sadja............
Mungkin dengan aku bersikap seperti ini di akan berfikir bahwa aku malah membuat dia gr dan besar kepala aku gak boleh di bohongi dengan keegoanku tapi aku juga punya hati yang bisa merasakan sakitnya hati bila di kaya ginikan :(((

Please tolong jangan buat aku gila jangan buat aku sepertiii ini aku MUAKKKK
aku ingin menyerah tapi aku tak bisa lakukan ituuuuuu..
Mengertilah aku tak pernah melihat sosok mu dalam sisi kelemhanmu melinkan kelebihanmuuu........
Mereka semua bilang kamu itu BANCi kamu itu Aneh bikin orang ilfil .dll tapi asal kamu tau aku gak pernah menghiraukan omongan mereka. aku menilaimu beda dengan mereka aku menilaimu sama dengan para lelaki yang sewajarnya

Yang tidak bencong, aneh dan bikin semua orang ilfil sama sifatmuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu

ingin menterah tapi tak bisa

kupendam rasa ini ku pupuk rasa ini kubuang jauh-2 rasa ini ingin rasanya ku menghapung ingatan ini dimana aku dulu bisa mengenalmu, mencintaimu bahkan menyayangimu.....
ingin ku peluk erat diirimu hingga tak akhan aku lepaskan...
menegrtilah bahwa ku sangat ingin khan mu tapi percuma kau tak ingin aku berada disampingmu .
kau menginginkan seseorang yang tak ingin menginginkanmu apa maumu apa inginmu..
kamu tak tau aku menangis menulis ini menghapus air mata yang jatuh tapi tak kusangka mata ini telah membengkak karenamu...
namun itu semua tak seimbang dengan perbuatanmu ke akuuuuuuuuuuuuuuuuuu kamu memang BAJINGAN AKU BENCI KAMU !!!!!

Minggu, 10 April 2011

By: Vierra - Pertanda Cinta

lihat lihatlah aku
dekat dekati aku
peluk peluklah aku
cium ciumlah aku oh kasih



* teman temani aku
yakin yakin padaku
sayang sayangi aku
bawa bawalah aku 



reff:
bersamamu apakah kau merasakannya getaran cinta
beri beri pertanda pertanda cinta

repeat *
repeat reff [4x]

pertanda cinta

Ketika Pohon Itu Masih Mekar

Perempuan berkebaya encim berwarna hijau itu menoleh kepadaku dari kursi anyaman plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak sekali bahwa kedatanganku telah mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua yang tumbuh di halaman lapang.
Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya. Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup kontras.
Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini. Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah, hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat renovasi rumah lama.
”Eh, kau sudah datang,” kata perempuan itu sambil bangkit dengan tergopoh-gopoh dan memegang tanganku.
”Iya, Ma. Mama sehat kan?”
Badannya yang bungkuk berusaha ditegakkannya, seakan berusaha untuk tetap terlihat muda dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya. Tatapan matanya yang tajam menyaratkan penolakan yang gigih terhadap satu fakta: bahwa kini akulah—dan kedelapan saudaraku yang lain—yang kini ganti wajib merawat dan mengunjunginya.
Pertanyaanku yang tadi tidak dijawab, dan ia segera membalikkan tubuhnya. Langkahnya terhenti di depan pohon cincau tua. Ia tertegun.
Baru kusadari betapa pohon itu terlihat jauh lebih kurus dan gundul daripada sebelumnya. Apa tahun lalu sudah seperti ini? Dua tahun lalu? Tiga? Walaupun setiap tahun kemari, kuakui aku tidak pernah memerhatikannya secara khusus, seperti saat ini.
Tapi kenapa?
Apa jangan-jangan Mama telah mencabut terlalu banyak cincau untuk dibuat jeli? Tapi itu tidak mungkin, sebab tumbuhan itu telah bertahan selama ini. Pucuk-pucuk itu telah dicabuti dan diremas-remas dan diramu menjadi eliksir kehidupan, namun selalu saja tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Terkadang bahkan harus ditebangi supaya tidak melintang pagar ke kebun tetangga. Butuh lebih dari sekadar penggundulan terencana untuk mematikan tumbuhan ini.
”Ma, pohonnya makin kurus kok.”
”Iya. Mungkin karena sering dicabuti orang kampung. Biasa, buat jualan.”
”Lho, kenapa Mama tak larang mereka? Abang Sardi saja biasa beli dari Mama sekarung sepuluh ribu.”
”Itu kan dulu. Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya. Lagi pula, pohon cincau kita ini satu-satunya di tanah ini….”
Mama terbengong sekilas. Mendadak dia berjalan mendekati pohon, berjinjit, dan menarik sehelai daun dari tangkainya. Ia pandangi daun itu lekat- lekat, seperti sedang berusaha menemukan suatu cacat pada permukaannya. Kemudian wajahnya menerawang ke atas, memandangi pohon itu dari pucuk tertinggi hingga ke akar.
Ia membuat keputusan. Ia jatuhkan daun itu ke tanah. Dan mendesah.
Sejurus perasaan takut menghinggapi diriku. Kupegang dahan terbesar pohon itu, bertekad untuk menemukan ciri apa pun yang tidak dimiliki tanaman yang hendak mati.
Ketika kutekan dahan itu perlahan, permukaan kulitnya yang kasar menjadi retak. Kerkahan di antara sulur-sulur yang dulu kuat itu mengeluarkan suara berkeriut yang mengerikan. Lapis demi lapis sulur pembelit batang ternyata sudah renggang dan mulai terurai.
Kulepaskan cengkeramanku cepat- cepat, dan suatu perasaan sayang dan keterikatan kuat yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi benakku. Aku tidak pernah tahu bahwa ancaman hilangnya suatu hal berharga yang belum pernah kusadari bisa begitu menyakitkan.
”Kenapa? Kamu juga rindu sama pohon cincau ini?” tanya Mama dengan tepat, seakan kita baru saja memikirkan hal yang sama. Ia tidak mengalihkan tatapannya dari pohon.
”Ya, Ma. Sayang sekali, padahal dulu batang-batang ini… begitu kuat, tidak bakalan putus sekalipun dinaiki beramai-ramai. Mama ingat tidak? Aku dan si Pin sering memanjat pohon ini….”
Kuhentikan ujaranku. Tanpa sadar, aku telah menyebut nama kakak keduaku yang telah kabur ke negeri seberang, tiga belas tahun yang lalu. Waktu itu, ia hanya meninggalkan rumah yang hangus dan sebuah mobil sedan yang ringsek. Mama sangat merindukannya dan memohonnya untuk pulang, namun ia bersumpah tidak akan pernah kembali ke negeri ini: istrinya telah menjadi mayat legam. Korban kebencian buta yang sulit padam.
Ujaranku pasti telah membuka kembali luka lamanya. Herannya, wajah Mama tidak berubah. Ia bahkan seperti mengabaikan ucapanku barusan.
”Tapi… syukurlah pohon ini masih ada di sini ya, Ma. Jangan sampai roboh nih, kenang-kenangan zaman dulu,” kataku mencoba memecah kesunyian.
Lagi-lagi tanpa terkesan mendengarkan komentarku, Mama berkata, ”Ayo masuk, makan cincau dulu. Mama sudah bikin buat kamu semua. Kamu suka sekali cincau kan.”
Ah, cincau itu lagi. Minuman manis yang menyegarkan, lagi sarat dengan khasiat ajaib yang sulit dijelaskan. Telah bertahun-tahun makanan hijau itu menyejukkan kerongkongan kami yang kering, mendinginkan tubuh yang panas dan kelelahan, memulihkan kerinduan yang tertahan.
Dan pohon itu adalah sumbernya. Daun-daunnya yang tumbuh pada batang kelabu yang pernah kokoh itu telah memenuhi kebutuhan kami, anak-anak Mama, selama masa kecil yang berlalu dengan cepat. Mamalah yang dulu seminggu sekali menggerakkan jari-jarinya di sela rimbunnya daun cincau, memilih daun yang terbaik untuk konsumsi anak-anaknya, untuk kemudian dilumatkan dan diperas sarinya. Dengan sentuhan tangannya yang terampil, cincau alami pun tersajilah; tidak, bukan cincau modern ala kota yang mulus lembut nan kenyal—yang kabarnya telah dicampur sejenis bedak. Cincau Mama adalah struktur kasar yang renyah dengan carikan kecil daun-daun hijau terlebur menjadi satu. Tanda perjuangan dan ketetapan hati yang luar biasa. Buah tangan yang merengkuh asa.
Bagiku, sajian itu telah melebar makna, menyatu dengan pribadi Mama. Makanan bagi tubuh dan bagi jiwa.
”Ma, Ateng sudah datang belum?” kataku merujuk pada adik lelakiku yang biasanya datang sehari sebelum hari raya.
Sejurus, Mama tidak menjawab. Tangannya masih sibuk menuangkan potongan-potongan cincau ke dalam mangkuk. Kini ia menuang gula cair hasil masak sendiri. Sempurna. Ia letakkan mangkuk itu di meja makan lebar yang kini kosong.
”Belum,” jawabnya, ”Mungkin dia tidak datang tahun ini. Tahu sendiri, dia lagi terbelit masalah sama pengadilan. Urusan begitu, memang pasti berabe…. Dia sudah telepon Mama tadi pagi, kasih ucapan tahun baru.”
Jadi begitu. Tahun ini berkurang satu kunjungan lagi.
Aku mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu. Luar biasa, cita rasanya tidak pernah berubah. Benar- benar bukan sajian biasa, ibarat memperbarui ikatan ragaku dengan kehidupan sejati yang mengisi segenap nadi dan sendi-sendi tubuh….
Tiba-tiba, Mama berlalu keluar lagi. Kuletakkan mangkuk itu dengan cepat ke atas meja, hingga menumpahkan cairan keruh pada permukaannya yang berdebu. Aku tahu aku harus mengikutinya.
”Hai! Apa yang kalian lakukan?” teriak Mama sambil menyeret badannya yang tertatih-tatih. Ternyata ia masih belum kehilangan teriakan melengkingnya yang tersohor itu.
Sesampainya di luar, kulihat tiga orang bocah kecil sedang berusaha memanjat dahan pohon cincau tua itu. Salah satunya, yang bertampang paling bergajulan, bahkan sudah menggapai puncak pohon yang kini tingginya tidak sampai tiga meter. Dengan santainya ia mencerabuti daun-daun hijau ke bawah, bersiap untuk ditampung kawannya yang bertengger dengan asyik di sebuah sulur sambil menenteng sebuah karung beras.
Bocah teratas lantas melompat dengan gesit ke tanah, mematahkan sebuah dahan besar hingga jatuh ke tanah. Daun-daun rontok bertebaran di antara debu tanah yang miskin air. Ia mulai berteriak-teriak memberi perintah kepada rekan-rekan komplotannya dengan bahasa daerah yang tidak pernah kumengerti. Mereka berlari melompati pagar rendah sambil menenteng karung hasil rampasan mereka hari ini.
Belum tersadar dari kekagetanku, tiba-tiba kudapati Mama terhuyung sesaat. Ia segera merambet lenganku untuk mencari tumpuan. Aku membimbing Mama kembali ke kursi anyamnya.
”Akh, tak kusangka. Pohon itu makin habis!” seru Mama sambil menepuk- nepukkan tangannya ke kepalanya.
”Mama, sudahlah. Sebentaran pasti tumbuh lagi…. Lagi pula, anak-anak Mama kan sudah jarang di sini, jadinya kan tidak perlu sering-sering bikin cincau.”
”Ya! Kalian memang sudah jarang di sini. si Pin sudah kabur, si Mey sudah dibawa lari lelaki hidung belang itu, dan si Teng sekarang kena masalah. Mama bahkan tidak tahu kenapa sisanya belum pada datang!” semburnya kepadaku.
Binar di matanya tampak redup dan tangan-tangannya yang kasar karena kerja keras seumur hidup mulai bergetar. Tampaknya, Mama terlalu menganggap serius masalah pohon ini. Bagaimanapun, aku tetap berjongkok di samping kursi, menemani Mama hingga tubuhnya pulih kembali. Namun aku tahu, saat aku menatap matanya sekali-kali sambil memegang tangannya dan membimbingnya menuju ke dalam rumah, bahwa sesuatu dari dalam dirinya telah hilang, tercerabut selamanya.
***
Semenjak itu, pikiranku nyaris tidak pernah kembali ke rumah tua dan pohon cincau setengah rubuh yang tumbuh di halamannya. Tidak, ketika urusan pekerjaan, komitmen-komitmen, dan keluarga mengambil alih seluruh jiwa ragaku—siapa pula yang peduli pada sebatang pohon di kampung halaman, yang kini menjadi serpihan masa lalu yang memudar perlahan, laksana jiwa hampa yang tanpa sadar terseret dalam kenihilan?
Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa pohon cincau itu telah mati dan roboh untuk selamanya. Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa Mama, dalam usahanya untuk menyelamatkan tiap daun terakhir dari pohon cincau, telah merengkuh batang pohon dan memanjat hingga dahannya yang tertinggi.
Tidak juga, sebelum akhirnya kudengar bahwa dahan besar itu pun patah, dan Mama terjatuh ke tanah. Kepalanya terantuk batu yang menonjol dari dalam tanah gersang, dan mengakhiri nyawanya.

Tradisi Telur Merah

Kau tak hendak menghitung. Namun, tahun-tahun yang melintas itu setiap kali mengucapkan salamnya kepadamu. Seolah pamit sembari menerakan jejak yang melekat di dinding ingatanmu.
Nyaris sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan untuk menjalani rentang masa yang tak terkira itu?
Kau sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di sudut-sudutnya. Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari. Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada tiap hari, tertebar di segala sudut? Kau tak tahu.
Adalah melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah di dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar tidur setiap kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu.
Kau sulam dengan telaten angan itu, yang setiap bulan bertambah dengan harapan kala tamu periodik biologismu datang. Bulan berganti dan makin memanjang sulamanmu. Rapat benang-benang itu terjalin membentuk angan-anganmu. Merah kesumba, ungu muda, hijau pupus adalah warna-warni impianmu.
Tahun berganti dan lapis harapanmu kian menebal. Kau tambahkan warna-warna baru pencerah angan. Lepas tahun berikutnya kau temukan benang baru berkualitas terbaik. Kau sulamkan setiap helai benang itu sepenuh rasa. Serabutnya yang berkilau seolah memberimu cahaya, tak memberi ruang pada semangatmu untuk meredup.
Tahun berganti tak berhenti. Demikian pula tamu periodik bulananmu. Selepas tahun kelima kau dapati persediaan benang-benangmu telah menipis, tak banyak lagi warna tersisa. Kau tak hendak berhenti apalagi putus asa, tetapi suamimu telah terperangkap pada harapan yang pudar, tak hendak diantarnya kau mencari benang-benang baru. Kini kau berjuang dengan benang-benang tersisa, warna seadanya dengan jarum yang mulai tumpul. Sulaman angan macam apalagi yang bisa kau buat?
Suamimu masih rebah di dadamu nyaris setiap malam. Dekapannya padamu tetaplah hangat dan seerat dahulu. Namun, dari seribu dongeng yang hendak kau kisahkan, tak kau yakini lagi berapa yang masih tersimpan utuh dalam ingatanmu. Entahlah belasan ataukah satu.
Telah selesai kau seka lekat partikel debu pada daun jendela dan bilah pintu ketika sebuah becak menghentikan lajunya di pelataran rumah. Bibimu datang. Dibawanya sebuah kotak merah. Terulur kotak itu padamu, dengan sepasang mata yang ingkar dari lurusnya tatapanmu. Kau mengerti. Gerak mata yang menghindar itu demi menyembunyikan prihatin tersirat. Bela rasa yang tak terungkapkan sejelasnya.
”Duduklah, Ik, 1” salammu menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang berkilauan dalam genggaman benakmu.
”Sehat bayinya? Lancarkah air susu ibunya?” Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar nada riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau tahu bahwa bibimu tak akan tertipu.
”Sehat, sudah bertambah satu kilo beratnya,” bibi menjawab pelan.
Kau seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah itu terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa isinya. Kue ku berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang legit, membalut kacang hijau tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk merah muda dengan daun pisang sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu melekat samar. Apalagi? Barangkali kue wajik, yang butiran beras ketannya saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih. Entah merah muda atau hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur rebus yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.
Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah.
Kau suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir berdenting lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi mengusap-usap marmer itu, seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada beberapa retak dan parutan serupa butiran pasir pada beberapa sudutnya.
Kau tahu bibi sedang merindui ibumu.
”Apakah Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini?” tanyamu kemudian, sembari mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk menetralisir suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi bergerak mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang yang jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam.
”Tidak banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian harus kami masak sendiri. Aku membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah memasak kue mangkok dan kue lapis. Ibumu memilih merebus sendiri telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari karena sumba. Nyaris tak berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada telapak tangan itu akan menodai kulitmu.”
”Lalu bagaimana?” kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita tentang masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada hal-hal lain.
”Ayahmu yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau selalu rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik 2,” mata bibi melirik padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya padamu yang tak terhitung.
Kau tertawa.
”Barangkali karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,” ucapmu lepas.
Ucapan yang kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya kepedihan kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan meneguk lambat seduhan teh terhidang.
Senyap. Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian.
”Ik, ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku. Antarlah aku ke sana.”
”Tidak akan!” bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu.
”Tapi aku sungguh ingin,” kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu yang tersulam sejauh ini.
”Kukatakan padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya!” lagi bibi mengulang peringatannya.
”Ramuan mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga,” kau tak berhenti.
Bibi meninggalkanmu. Seakan membiarkan segala sulamanmu terendam untuk kemudian tenggelam. Akankah kau menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-sia?
Pastilah tidak. Keinginanmu yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan meruntuhkan tembok penghadangmu.
***
Sosok tua tak bernama itu menampik uluran uangmu.
”Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam. ”Pada waktunya nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.”
Kau tak mengerti, tetapi sebelum mendapatkan penjelasan lanjut, kau telah dipersilakan untuk beranjak pergi. Seseorang mengantarkanmu hingga ke gerbang. Bilah pintu besar itu terbelah, memberimu celah untuk keluar. Jalan setapak di depanmu dengan pohon-pohon tua berjajar seolah membentuk barisan di sepanjang jalurnya. Dedaunan yang saling bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhmu. Kau bertanya-tanya kemudian, apakah pohon-pohon itu mengingat dan menyimpan derap langkah ibumu yang menyusuri jalan ini pada suatu ketika di masa silam? Satu iramakah langkah yang dahulu itu dengan gerak langkahmu sekarang?
Kau rindui ibumu. Kau ingat senandungnya yang menidurkanmu. Dan kau rindui pula kesempatan menjadi ibu. Ingin kau bersenandung dan mengisahkan dongeng-dongeng pada anak-anakmu.
Kepada bibi kau bawa pertanyaan tak terjawab itu.
Bibi tercekat, lalu meraung sesudahnya.
”Mengapa kau langgar pesanku?” desisnya menuntut. ”Seharusnya kau patuh.”
”Ibu melakukannya, mengapa aku tak boleh?” balik kau bertanya serupa gugatan.
”Justru karena itu kau tak perlu mengulangnya!”
”Tapi aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.”
Bibi menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan sulaman anganmu sebagai cadar belaka.
”Lebih sepuluh tahun Tacik 3 menunggumu,” bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di antara cemas dan pahit berselang-seling.
”Setiap datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli didatangi. Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan ibumu ke sana. Bulan berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.”
Suara bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi akar-akarnya tak tercerabut.
”Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi kelahiranmu,” bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin berkeringat dalam genggamanmu.
”Tacik meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik tirimu. Anak itu lahir kemudian.”
Kau terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam yang tak terduga.
”Apa yang terjadi dengan adikku?”
Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam dan lelehan jeruk nipis.
”Seharusnya anak itulah penukar kelahiranmu, tetapi ibumu tak tega dan memilih dirinya sendiri sebagai pembayarnya. Ayahmu tak sanggup menanggung beban dan menyusul ibumu kemudian. Nyawa dibayar nyawa, begitulah adanya.”
Labirin sejarahmu terkuak sudah. Terpapar jelas dari ujung permulaan hingga kelokan terakhir. Tak lagi kau temukan persimpangan yang menipu. Saat yang sama kau telah terperangkap pada salah satu jalur misterius di dalamnya. Akankah kau temukan jalan untuk kembali?
Jadwal periodik biologis bulanan itu selalu kau tunggu dengan berdebar sepanjang sembilan tahun. Debaranmu kali ini adalah akumulasi sepanjang masa itu disertai harapan yang retak serupa cangkang telur merah dalam anganmu.

Just The Way You Are

Oh her eyes, her eyes
Make the stars look like they're not shining
Her hair, her hair
Falls perfectly without her trying

She's so beautiful
And I tell her every day

Yeah I know, I know
When I compliment her
She wont believe me
And its so, its so
Sad to think she don't see what I see

But every time she asks me do I look okay
I say

When I see your face
There's not a thing that I would change
Cause you're amazing
Just the way you are
And when you smile,
The whole world stops and stares for awhile
Cause girl you're amazing
Just the way you are

Her lips, her lips
I could kiss them all day if she'd let me
Her laugh, her laugh
She hates but I think its so sexy

She's so beautiful
And I tell her every day

Oh you know, you know, you know
Id never ask you to change
If perfect is what you're searching for
Then just stay the same